Rabu, 13 Maret 2013

lagu raja negeriku dan pidato sang presiden

Soekarno dan Raja Negeriku

NOAH menggebrak dengan album terbarunya yang berjudul Seperti Seharusnya. Tercatat melalui konser di 5 negara 2 benua dalam satu hari, grup band yang diawaki oleh Ariel, Uki, Lukman, Reza, David ini terlahir untuk membuat sejarah. Sejarah memang akrab dengan band ini semenjak masih bernama Peterpan. Mulai dari breaking record tampil di enam kota selama 24 jam dalam rangka launching album Bintang di Surga, album terlaris di Indonesia melalui album Bintang di Surga, dan tentu saja yang ter-gress ialah bagaimana band ini melintasi 6.903 mil untuk menandai kembali eksistensinya dengan album serta nama baru.
Menarik adanya di album barunya terdapat beberapa eksplorasi dalam musikalitas dan tema lagu. Pada lagu pembuka disuguhkan lagu bertema kebangsaan yakni Raja Negeriku. Lagu ciptaan Ariel dan Uki ini tampil dengan megah dan grande. Tak mengherankan dikarenakan terdapat gemuruh suara dari 200 orang penghuni lembaga pemasyarakatan Kebon Waru. Kebon Waru sendiri sempat menjadi hotel prodeo bagi Ariel dikarenakan skandal video seks yang menerpanya. Lagu Raja Negeriku juga disisipi oleh suara Soekarno pada beberapa bagian lagu. Pada intro digunakan Pidato sebulan setelah dekrit Presiden. Pada reff digunakan 63 genta suara revolusi. Pada coda digunakan Kembali ke NKRI.
Dalam wawancara via formspring, ketika ditanya tentang kategori buku yang paling senang dibaca oleh Ariel, sang frontman ini menyatakan bahwa dia menyukai buku Cindy Adams yang berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Soekarno memang mempesona dengan segala geloranya. Soekarno menurut Herbert Feith merupakan tipe pembentuk solidaritas. Soekarno menciptakan simbol dan menekankan kembali tuntutan mesianis serta janji-janji Revolusi. Seorang “pembentuk solidaritas” bicara dengan hati bergelora tentang rakyat – tentu saja “rakyat” bukan sebagai kenyataan yang terbagi-bagi, melainkan suatu keutuhan, suatu daya, suatu gairah (Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 2, hlm. 479). Dalam laju perjuangannya Soekarno juga lebih mementingkan untuk menggalang massa dan menggerakkannya. Berbeda kiranya dengan Hatta dan Sjahrir yang lebih memilih mendidik dan membentuk kader.
Soekarno memang telah meninggal pada 21 Juni 1970, namun gaung dan pesonanya tetap bergema hingga kini. Kemenangan PDIP pada pemilu 1999 tidak dapat dilepaskan dari marketing romantisme terhadap Soekarno. Gambar Soekarno ikut menjadi ‘juru kampanye’ dari PDIP pada pemilu pertama pasca Orde Baru tersebut. Belum lagi nuansa terzalimi terhadap Soekarno yang berhasil menjadi vote getters. Kerinduan terhadap sosok yang mandiri dan tegas juga turut mendulang melejitnya perolehan suara dari PDIP yang melekatkan diri pada sosok Soekarno. Namun Megawati Soekarnoputri bukanlah Soekarno. Pun begitu dengan Surya Paloh yang dengan menggebu-gebu menduplikasi orasi dari sang proklamator.

Asvi Warman Adam dalam bukunya Membedah Tokoh Sejarah menyatakan bahwa biografi penting kiranya untuk menangkap dan menguraikan jalan hidup tokoh dengan lingkungan sosial-historis yang mengitarinya. Tujuan kedua biografi adalah memberi baju “baru” kepada tokoh sejalan dengan simbol yang ingin diperteguh masyarakat untuk menjadikannya sebagai contoh atau kadang-kadang personifikasi dari simbol itu sendiri (Asvi Warman Adam, Membedah Tokoh Sejarah, hlm. X-XII). Membaca kembali Soekarno akan beda kiranya antara era Orde Baru dengan era reformasi. Pada era Orde Baru Soekarno bahkan ‘dimatikan’ dengan berbagai cara. Simak buku Asvi Warman Adam, Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?, untuk mendapatkan khazanah sosial politik dan sejarah terkait dengan sang putra fajar.
NOAH dengan menghadirkan cuplikan pidato Soekarno memberikan nafas baru dan menyegarkan kembali ingatan terhadap Soekarno. Soekarno tertampilkan dalam balutan musikalitas grup band yang memiliki basis massa penggemar signifikan. Indonesia sendiri layak berbangga memiliki presiden pertama yang pada masa mudanya telah melakukan penjelajahan intelektual terhadap karya Gladston, Beatrice Webb, Mazzini, Cavour, Garibaldi, Otto Beuer, Karl Marx, Frederich Engels, Lenin, Jean Jacques Rousseau, Jean Jaures, Danton dan Voltaire (Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir, hlm. 14). Sosok Soekarno yang tegas dan berani berkata go to hell with your aid. Sosok yang merupakan tokoh di balik lahirnya Gerakan Non Blok ketika dunia tengah berkecamuk diantara dua kutub besar pertentangan.
Di lain sisi, kita juga harus jujur dan menempatkan Soekarno sebagai tokoh sejarah yang dapat keliru dan salah. Menempatkan Soekarno dalam pendulum mitologi dan mengagungkannya secara berlebihan akan mengaburkan makna dari sosok ini. Jangan lupakan Soekarno pernah berpidato Marilah Kita Kubur Partai-partai pada 28 Oktober 1956 (Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, hlm. 62). Sebuah konsep yang kiranya mengubur demokrasi, perbedaan dan akan membawa negeri ini ke arah diktator. Natsir diantaranya mengkritisi yang akan berdiri di atas kuburan partai-partai adalah diktator. Mohammad Hatta juga menunjukkan penolakan akan arah kebijakan si bung ini.

Soekarno juga terjerembab dengan terminologi revolusi belum selesai. Revolusi yang belum selesai ini kerap dinarasikan dalam berbagai pidato-pidatonya. Inilah kiranya salah satu pasal Soekarno dan Hatta berpisah jalan. Hatta lebih menghendaki pembangunan ekonomi, upaya pemakmuran rakyat. Sedangkan Soekarno masih begitu terpesona dengan jargon revolusi belum selesai. Si pemimpin besar revolusi ini lalu menuangkan pemikirannya dalam sejumlah proyek mercusuar yang hingga kini masih kita temui jejaknya. Bundaran Hotel Indonesia, Hotel Indonesia, Masjid Istiqlal, Monas, kompleks olahraga Senayan, merupakan mozaik nyata dari ide revolusi belum selesai.
Dalam literatur ilmu politik terdapat istilah the king can do no wrong. Dalam hadits juga terdapat istilah yang terkait dengan kerajaan yakni Mulkan ‘Aadhan (Penguasa yang Menggigit) dan Mulkan Jabariyyan (Penguasa yang Menindas). Peran dari kerajaan di berbagai belahan dunia juga telah semakin menyusut. Raja lebih sebagai simbol budaya dan sejarah. Hal tersebut tak terlepas dari kesadaran kolektif bahwa toh raja hanya manusia biasa yang bisa salah dan lupa. Penempatan pola pikir tersebut memungkinkan terjadinya kritik dan berbeda pendapat. Saya pribadi berharap diksi raja negeriku dalam lagu NOAH lebih merupakan keindahan sastrawi dibandingkan kembali menunggu pemimpin yang kuat dan bertindak seperti raja.
Benar kiranya kini Indonesia sedang mengalami kepemimpinan nasional yang tidak kuat. Amat lumrah muncul kerinduan terhadap masa lalu. Ada yang rindu kepada sosok Soekarno, ada yang rindu terhadap sosok Soeharto. Sisi positif dari kedua presiden Indonesia tersebut tentu saja benar adanya, namun jangan lupakan sisi negatif dari kepemimpinan mereka. Menakar dengan objektif akan membawa kita arif menyikapi masa lalu untuk bertindak di kontemporer teruntuk masa mendatang.

Vedi Hadiz dalam buku Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil menuturkan bahwa ide sosial demokrat Sjahrir tak begitu populer pada 1950-an, dikarenakan belum munculnya kelas menengah yang kukuh, suatu golongan masyarakat yang melek dan berpendidikan (Tim Tempo, Sjahrir:Peran Besar Bung Kecil, hlm. 106). Ia menyakini bahwa ide brilyan Sjahrir akan dapat berjalan jika dilajukan oleh kelas menengah yang kini semakin gemuk jumlahnya. Kelas menengah ditenggarai sebagai harapan sekaligus nestapa bagi bangsa. Simak saja potongan dialog dari novel Supernova 1:Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh berikut:
“Di bawah empat puluh tahunlah. Aku ingin tokoh-tokoh kita semuanya muda, usia produktif, urban, metropolis, punya akses teknologi dan informasi yang baik. Percuma pakai tokoh gelandangan atau setting desa dengan sok-sok pakai aksesori kebudayaan daerah. Pada kenyataaannya para yuppies tadi yang bakal jadi corong bangsa, yang mampu membangun sekaligus paling potensial untuk merusak.”
Tentu saja kelas menengah yang layak menjadi harapan bukanlah kelas menengah konsumtif, pragmatis, dan egois. Bukan pula kelas menengah yang sekadar menggerutu dan bawel tanpa solusi. Yang dibutuhkan adalah kelas menengah yang mengutip lirik lagu NOAH – Raja Negeriku:
Berikan terang untuk masa depan
Berpegangan, semua saudara
tegar berdiri, dalam mimpi yang satu
Perubahan
Untuk tanahmu, tanah lahirmu
Untuk negeri dan mimpi bangsamu